- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Cover depan novella Purple Eyes |
Judul : Purple Eyes
Penulis : Prisca Primasari
Genre : Fiksi, Romance
Jumlah Bab : Prolog + 21 Bab + Epilog
Jumlah Halaman : 144 halaman
Kategori Pembaca : Young Adult
Penerbit : Penerbit Inari
ISBN : 978 – 602 – 74322 – 0 – 8
Sinopsis
Ivarr Amundsen mengalami kehilangan orang yang disayanginya, menyebabkannya kehilangan kemampuan untuk merasakan emosi. Ia kini hidup seperti patung lilin karena memutuskan untuk tidak mau merasakan apapun lagi. Sampai suatu hari, muncul seorang gadis misterius bernama Solveig yang datang di kehidupannya secara ganjil dan perlahan-lahan membuat Ivarr kembali merasakan emosi dalam hidupnya.
Prolog
Warna ungu mencolok menjadi warna dominasi cover bukunya, dengan ilustrasi sampul depan yang dreamy. Begitu juga dengan cover belakangnya yang bergambar pohon gundul tinggi. Saya jarang menemukan buku fiksi bergenre roman dengan sampul full ungu seperti Purple Eyes. Hal itulah yang membuat mata saya ngeh waktu menemukan Purple Eyes di rak buku.
Secara keseluruhan selain ilustrasinya, menurut saya cover nya biasa aja. Agak berbeda dengan novel sekarang yang kebanyakan bersampul warna pastel dengan kesan vintage, yang kalau gak rame banget pasti simple banget. Cover Purple Eyes mengingatkan saya pada buku-buku fiksi dengan tema agak serius, padahal novella ini jauh banget dari tema serius. Iya iya, saya tahu don’t judge book by its cover, tapi justru saya beli buku ini karena cukup tertarik dengan ilustrasinya yang seperti menyiratkan rahasia, kekelaman sekaligus kehangatan. Dan isi buku ini sesuai ekspektasi saya, sama sekali nggak mengecewakan. Daripada bahas cover kepanjangan, yuk langsung aja kita review bukunya!
Review
Cerita
Purple Eyes diawali dengan prolog tentang latar belakang tokoh utama yang tidak saya duga. Bakal jadi spoiler kalau saya ceritakan disini, jadi nggak akan saya ceritakan hehehe. Tokoh utamanya adalah seorang gadis yang mengganti namanya menjadi Lyre - yang kemudian berganti lagi menjadi Solveig. Solveig diminta oleh atasannya, Herr Halstein untuk menemaninya mendatangi kota Trondheim di Norwegia, menemui pria bernama Ivarr Amundsen. Ivarr yang hidup sendiri dan terkena suatu penyakit, tidak dapat merasakan emosi lagi setelah orang yang disayanginya menjadi korban pembunuhan berantai dengan cara yang keji. Solveig dan Halstein datang dengan sebuah misi, yaitu agar Ivarr dapat merasakan emosi lagi, sekaligus menemukan pelaku yang masih berkeliaran di kota tersebut.
Purple Eyes hal. 20 |
Saat membaca sinopsis di belakang buku, saya kira Ivarr kehilangan pacar atau istri. Ternyata, Ivarr kehilangan adik laki-lakinya, yang bernama Nikolai. Ivarr tidak pernah bersedih atau menangis sejak kematian Nikolai, dan ia sendiri tidak tahu kenapa bisa begitu. Padahal, Nikolai adalah satu-satunya keluarga yang ia punya sejak orangtuanya meninggal.
Solveig dan Halstein mendatangi Ivarr dengan kedok memesan suvenir, karena Ivarr memiliki perusahaan suvenir yang diwariskan orangtuanya. Halstein punya rencana yang tidak dibagikan pada Solveig, meski gadis itu berkali-kali menanyakannya. Tanpa tahu rencana itu, Solveig hanya bisa mengikuti perintah Halstein untuk terus menemui Ivarr setelah pertemuan mereka yang pertama.
Purple Eyes hal. 46 |
Saat-saat Solveig dan Ivarr bersama adalah saat-saat dimana Solveig mencoba memancing Ivarr agar dapat merasakan emosi lagi. Solveig beralasan minta diantar ke beberapa tempat di Trondheim yang bisa membangkitkan kenangan Ivarr akan Nikolai. Kedekatan mereka lambat laun membuat Ivarr merasakan sesuatu pada Solveig, begitu juga sebaliknya. Solveig menuangkan perasaannya melalui puisi yang dituliskan pada buku catatannya. Ia kira semua akan berjalan sesuai rencana, sampai suatu hari Ivarr menemukan buku itu. Tanpa sepengetahuan Solveig, Halstein mengambil buku itu darinya untuk ditemukan Ivarr. Sesuatu pada buku itu menghubungkan Ivarr, pelaku pembunuhan berantai yang merenggut nyawa Nikolai, dan jawaban siapa Solveig dan Halstein sebenarnya. Lalu, bisakah Ivarr bertemu dengan pelaku pembunuhan berantai itu? Apa yang akan dilakukannya? Bisakah Ivarr merasakan emosi lagi? Lalu bagaimana dengan kelanjutan hubungannya dan Solveig? Siapa Solveig dan Halstein sebenarnya?
Purple Eyes hal. 72 |
Kayaknya saya harus stop spoiler disini, karena bagian setelah Ivarr menemukan buku Solveig adalah bagian seru-serunya. Ah, sebenernya semua bagian dari buku ini seru sih, beneran! Jalan ceritanya bikin penasaran dari awal sampai pertengahan. Kenapa cuma sampai tengah? Soalnya pas bab-bab akhir sedikit ketebak endingnya. Tapi bagi saya, bagian akhirlah yang cukup jleb dan menyakitkan. Apalagi pas bagian Ivarr melacak sosok Solveig sampai ke Inggris dan akhirnya menemukannya. Uh, trenyuh banget membayangkan Ivarr bela-belain sampai begitu buat nyari Solveig :’)
Dalam prolognya, penulis berkata cerita ini terinspirasi dari mimpi. Well, dalam mimpi kita memang mengalami hal nggak terduga, sehingga cerita ini memberikan kejutan-kejutan juga. Saya kira selain roman, novel ini akan diwarnai dengan tema misteri dan aksi karena disana disinggung soal pembunuhan berantai, tapi ternyata jauh dari itu. Novel ini lebih manis dari yang saya perkirakan, misterinya nggak terlalu berat. Dari judulnya saja – Purple Eyes. Mengapa Purple Eyes? Nah, ini diambil dari warna mata Ivarr yang dikagumi Solveig. Dalam cerita ini, semua tokoh-tokohnya juga digambarkan rupawan, cantik dan ganteng. Penjabarannya khas banget novel bertema roman, bukan misteri.
Cerita Purple Eyes enak dibaca dari awal sampai akhir, alurnya juga enak diikuti. Alurnya didominasi oleh alur maju, tidak ada alur mundur. Mengalir dan bikin penasaran untuk baca sampai akhir. Selain itu, penggunaan istilah asing yang wajar di cerita ini menambah nilai yang menjadikannya enak dibaca sampai akhir. Penggunaan istilah asing dalam Purple Eyes tidak terkesan dibuat-buat atau maksa dimunculkan demi keunikan. Istilah-istilah yang muncul pun berupa kata-kata sederhana seperti grovenkake, Pappa, Mamma, fiddle dan sebagainya.
Tidak ada percakapan dengan penggunaan bahasa campuran, separuh kalimat berbahasa Indonesia dan separuhnya lagi bahasa asing. Bagi saya, percakapan seperti itu nggak enak dibaca. Agak aneh aja kalau ceritanya bertokoh orang luar negeri, diceritakan dalam bahasa Indonesia, tapi kalimatnya campuran antara bahasa pengantar dan bahasa dari negara tokoh itu. Kalau mau semua percakapan pakai bahasa asing, pakailah semuanya. Kesannya nggak nyambung kalau setengah-setengah seperti itu.
Nah, di Purple Eyes, seluruh percakapannya berbahasa Indonesia. Agak formal karena pakai bahasa baku – seperti penggunaan kata ‘Saya’ dan ‘Anda’, tapi luwes dan nggak kaku. Inilah yang bikin ceritanya enak untuk dibaca dan diikuti, karena saya mudah membayangkan Solveig dan Ivarr saat sedang bercakap-cakap di kepala saya.
Purple Eyes memasukan beberapa mitos Inggris dan Norwegia, menjadikan ceritanya cukup klasik. Hal-hal klasik lainnya dalam cerita diselingi hal-hal modern khas urban. Jadi seperti membaca cerita klasik yang terjadi di tengah peradaban modern. Sst, sedikit bocoran, Solveig memiliki keterkaitan kuat dengan hal-hal berbau klasik, karena ia berasal dari sana ;)
Kelebihan dan Kekurangan
Yang bikin saya tertarik memboyong buku ini adalah latar tempat ceritanya yang berbeda dengan novel roman berlatar luar negeri lainnya – yaitu Norwegia. Nama-nama tokoh seperti Ivarr dan Solveig serta latar tempatnya berkesan baru. Sepertinya Norwegia belum sering dijadikan latar utama cerita yang ditulis penulis Indonesia. Biasanya tempat yang diambil macam negara seperti Jepang, Prancis, Australia, Italia, dengan kota macam Tokyo, Kyoto, Paris, New York, London, dan sebagainya.
Sedangkan Norwegia, dengan latar kota Trondheim, bagi saya hal baru yang bikin penasaran untuk diikuti. Meskipun nggak detail banget mendeskripsikan tempat dan budayanya, tapi ada beberapa pengetahuan baru yang saya dapatkan tentang Norwegia, yang dikemas dalam cerita. Hal itu jadi nilai tambah buat Purple Eyes, karena bagi saya karya fiksi yang baik itu bukan hanya menghibur, tapi juga mengedukasi. Purple Eyes memberikan keduanya ;)
Saya sempat heran, kenapa kok buku ini tipis untuk ukuran novel. Ternyata, Purple Eyes itu novella dan bukan novel. Novella itu karya fiksi yang lebih panjang dari cerpen, lebih pendek dari novel. Saya menamatkan 144 halaman ini selama 2,5 jam. Tapi nggak apa-apa kok tipis juga, toh novella ini sudah cukup bikin saya puas dan kenyang membacanya.
Untuk kekurangan… hmm apa ya? Kok rasanya saya nggak nemu kekurangan apapun di novella ini saking bagusnya, hehehe. Ada sih, tapi mungkin bukan kekurangan, ini pendapat saya aja. Akan lebih baik kalau judul tiap bab pakai bahasa Norwegia, bukan bahasa Inggris. Memang ada keterkaitan antara tokohnya dan Inggris, tapi menggunakan bahasa Norwegia rasanya bikin feel ceritanya lebih dapet.
Oh iya, ada kekurangan, tapi bukan dari segi ceritanya : di bab 16. Bab ini menceritakan isi sebuah surat, dan font tulisannya kekecilan. Saya pusing lama-lama membacanya :3
Bagian Menarik
Saya menghitung ada 4 kali penggunaan kata ‘lavendel’. Saya kira itu typo, bukannya kita mengenal tanaman warna ungu dengan istilah ‘lavender’? Setelah dicek, ternyata ‘lavendel’ adalah istilah bahasa Belanda untuk lavender. Jadi, intinya lavendel dan lavender tuh sama aja, tanaman berwarna ungu. Kamu bisa cek di http://www.interglot.com/dictionary/nl/en/translate/lavendel.
Kesimpulan
Purple Eyes adalah karya fiksi yang manis dan berkesan. Hangat sekaligus menyedihkan. Meskipun lebih pendek dari novel, tapi cukup mengenyangkan untuk dibaca. Dengan tema roman yang tidak berat, novel ini enak dan ringan untuk diikuti. Meskipun covernya nggak neko-neko, tapi isinya memuaskan banget. Alur ceritanya mengalir, penuturannya ringan dan tidak terkesan dibuat-buat. Bagi saya, latar tempatnya yang baru jadi nilai berbeda. Good job buat mbak Prisca Primasari, yang sudah mengolah ide dari mimpinya jadi karya fiksi yang menghibur! ;)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Lagi belajar nulis
Komentar
Posting Komentar