Dummy Post Review Wardah Moisturizer Gel

Ringkasan dan Tanggapan "Introducing Architectural Theory: Debating a Discipline (Korydon Smith)"

Pemahaman Definisi Teori Arsitektur Menurut Korydon Smith
(tulisan ini telah disubmit untuk Tugas Kuliah Teori, Kritik Arsitektur dan Kawasan)

        Menurut Korydon Smith, definisi teori arsitektur adalah “evolusi prinsip-prinsip objektif dan nilai-nilai subjektif yang memandu keputusan individu dan kolektif tentang, dan penilaian karya arsitektur sendiri dan orang lain”. Ada kata kunci yang menarik perhatian saya: evolusi, keputusan individu, dan keputusan kolektif. Kenapa ini menarik?
    Pertama, evolusi yang artinya perkembangan yang terjadi secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit). Karya arsitektur yang saya maksud disini adalah yang terwujud sampai menjadi bangunan fisik, tidak berhenti di rancangan. Karya arsitektur bukan barang yang jadi dalam semalam, proses menghasilkan rancangan itu sendiri memerlukan waktu, sintetis hasil dialog antara klien dan arsitek. Ditambah proses pelaksanaan konstruksi sampai ke pemakaian oleh pengguna. Dari pengalaman saya (yang belum banyak ini), proyek bangunan sederhana 1-3 lantai dengan luas antara 50 m2 – 500 m2 biasanya diberi waktu 3 - 4 bulan untuk proses perancangan, dan 6 - 12 bulan untuk pelaksanaan konstruksi sampai akhirnya diserahkan dan digunakan pemiliknya (itu pun jika tidak ada kendala dalam pelaksanaan konstruksi). Butuh waktu yang tidak sebentar untuk mewujudkan rancangan dari ide abstrak ke bentuk jadi; butuh waktu juga untuk mendapatkan pengalaman pasca huni objektif dalam karya arsitektur sampai menghasilkan evaluasi, pandangan, pendapat (pro/kontra) yang memantik kritik dan diskusi hingga terjadi suatu dialektika yang melahirkan teori arsitektur baru. Inilah yang saya pahami terkait dengan evolusi dalam teori arsitektur.
        Kedua dan ketiga, adalah keputusan individu dan keputusan kolektif. Keputusan individu dan kolektif ini dapat saling mempengaruhi. Contoh: seorang tokoh (individu) yang disegani menyukai preferensi rancangan atau desain dalam gaya tertentu, maka kelompok dimana ia berada akan mendukung keputusan pemilihan preferensi tersebut secara kolektif, tidak peduli bahwa preferensi tersebut kurang cocok secara konteks lingkungan atau iklim, misalnya. Kemudian, keputusan kolektif itu akan mempengaruhi arsitek (individu) yang akan merancang dengan menggunakan preferensi tersebut, tentunya tetap dengan memasukkan gagasan-gagasan objektif.
     Keputusan yang dihasilkan individu yang disegani tersebut, tentunya berdasarkan pemahaman dan pandangannya sendiri terhadap arsitektur (bersifat subjektif, hasil pengalaman atau pengetahuannya). Misalnya, jika ia memandang arsitektur sebagai sesuatu yang harusnya monumental, maka preferensinya pun akan berkaitan dengan prinsip-prinsip monumental: skala luas/besar, mewah, megah, dsb. Nilai subjektif ini yang mengarahkannya pada keputusan individu, yang mempengaruhi keputusan kolektif, dan berpengaruh lagi terhadap keputusan inidividu lainnya, yang memancing terjadinya dialektika. Hal ini yang saya pahami terhadap keputusan individu dan keputusan kolektif dalam teori arsitektur. 

Media untuk Memahami Teori Arsitektur

      Secara formal, kami mengenal teori arsitektur pertama kali di bangku kuliah dengan pengantar dari dosen. Ada banyak teori: tentang arsitektur itu sendiri, sejarah dan perkembangan arsitektur, teknologi arsitektur, metode perancangan, dan sebagainya. Adapun yang non-formal kami dapatkan di luar bangku kuliah, misal melalui seminar atau dari pengalaman kami waktu bekerja. Menurut saya, pemahaman yang terbentuk waktu mempelajari teori-teori secara formal atau non-formal, akan berpengaruh pada pandangan atau tindakan kita dalam berarsitektur, terutama yang kita pelajari secara formal.
              Umumnya, media yang biasa kita gunakan untuk belajar teori arsitektur adalah buku. Hari ini dengan kemajuan teknologi, ada banyak media populer untuk memahami teori arsitektur dalam genggaman kita: sosial media (Instagram, Facebook, Twitter), Youtube, blog, portal berita, situs online, sampai ke podcast. Beragam pilihan media mempermudah kita memperoleh pengetahuan tentang teori arsitektur, namun secara pribadi saya lebih memilih buku untuk memahami teori arsitektur, karena dirasa lebih terstruktur dan komprehensif dibanding media lainnya. Postingan di sosial media rasanya terpecah dalam beberapa fragmen dan kurang menyeluruh, ditambah prosesnya tidak mengalami editing dan review terstruktur seperti buku. Begitu pula dengan blog, portal berita, Youtube atau podcast, yang pada akhirnya juga harus ditulis atau dinarasikan untuk memperoleh intisarinya. Singkatnya, penulisan teori di buku akan lebih tersaring karena mengalami proses review dan editing hingga akhirnya sampai ke tangan kita. Isi buku lebih ke ‘voice’, dan memiliki nilai plus dibanding media lain. Tentu saja tiap orang memiliki preferensi untuk memilih medianya masing-masing, tapi menurut saya format yang paling komprehensif untuk digunakan dalam memahami teori arsitektur dengan baik adalah dalam bentuk buku, atau jurnal ilmiah. Pertanyaannya, seberapa sering kita membaca buku-buku teori arsitektur? Yang benar-benar buku, bukan hanya sekedar bacaan.

Memahami Teori Arsitektur di Bangku S1

            Di bangku S1, jumlah buku teori arsitektur yang saya baca bisa dihitung jari, hanya di tahun pertama dan kedua mengenai teori arsitektur dasar. Karena dikejar waktu pengumpulan tugas, saya lebih sering mencari dari sumber yang praktis seperti website arsitektur (Archdaily), blog yang copy-paste tulisan dari buku/paper, dan paper asli. Setelah disadari sekarang, penulisan di blog itu bebas sekali, dan kalau paper spesifik mengenai bahasan tertentu (yang sudah diolah penulisnya). Buku yang saya maksud, adalah buku-buku rujukan yang sering terlihat di akhir slide kuliah pengantar dosen. Berapa banyak mahasiswa yang benar-benar mencari rujukan dari buku sumber tersebut? Saya sendiri, tidak pernah benar-benar mencari buku-buku tersebut. Tapi menurut saya, membaca satu saja dari buku rujukan tersebut harus dilakukan karena akan membantu kami memahami teori arsitektur secara menyeluruh, dari sumber yang ilmiah dan tepat. Satu teori pun tidak mengapa, asal komprehensif dan sumber rujukannya benar.
        Dalam tugas mata kuliah Teori, Kritik Arsitektur dan Kawasan ini misalnya, penugasan ini saya pahami karena kami diminta membaca dulu dari sumber yang tepat dan komprehensif. Dengan membaca sedikit saja, muncul keingintahuan, pertanyaan, tanggapan kami sendiri, juga keinginan untuk maju membaca bab-bab selanjutnya, yang semuanya berawal dari acuan yang komprehensif. Contoh lain ketika di mata kuliah Estetika Bentuk (S1), kami diminta untuk memahami metode perancangan seorang arsitek, lalu membuat tanggapan dalam bentuk rancangan dengan mengkontemplasikan prinsip-prinsip arsitek tersebut ke dalam rancangan kami. Tugas tersebut menyenangkan (setidaknya bagi saya), karena kami bisa fokus dan betul-betul mendalami bagaimana tahap-tahap arsitek itu dalam merancang. Kami banyak menelusuri sumber (pada saat itu memang bukan dari buku dan masih blog/situs online, tapi poin yang dimaksud adalah kedalaman menggali untuk memperoleh pemahaman menyeluruh tentang teori arsitektur dari arsitek itu sendiri). Saya mendapat tugas mengkontemplasikan teori dan prinsip arsitektur dari Tadao Ando, teman-teman yang lain mendapat arsitek terkenal lainnya seperti Zaha Hadid, Bernard Tschumi, Renzo Piano, dsb. Hasil dari kami menggali dan mengkontemplasi, kemudian di presentasikan di depan kelas sehingga terjadi pertukaran pengetahuan dari teori dan prinsip arsitektur yang kami dapatkan. Menurut saya pertukaran pengetahuan dengan cara seperti itu praktis, menyenangkan, tapi bahasannya tetap ‘dalam’ karena kami betul-betul mendalami pemikiran arsitek tersebut, untuk selanjutnya diterapkan pada rancangan kami.
        Metode tersebut, menurut saya bisa ditetapkan dalam mempelajari teori arsitektur: satu bahasan saja, tapi dari sumber yang benar, komprehensif, dan bisa dipahami oleh mahasiswa secara menyeluruh. Jika ada pertanyaan “Tapi kan, kita gak bisa terlalu fokus ke satu bahasan teori aja, perlu tahu juga teori yang lain?” Nah, itulah manfaatnya tugas kelompok: mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing bisa merangkum dan meringkas satu bahasan (dari sumber yang benar, betul-betul dari buku sumbernya, bukan dari blog meskipun isinya sama), kemudian hasil rangkuman atau ringkasan itu dipresentasikan dan kami bisa gali dan pahami bersama mengenai teori-teori tersebut. Sehingga pemahaman dan pengetahuan yang kita dapat semakin kaya dan menyeluruh (hasil dari pertukaran pengetahuan dari presetnasi dan diskusi), meskipun yang betul-betul kita dalami hanya satu bahasan.

Ketika Mahasiswa diberi Tugas ‘Merangkum, Memahami dan Mempresetasikan’

       Saya agak lupa bagaimana detailnya dalam ketentuan atau TOR, tapi di kelas teori kami sering diberi tugas kelompok untuk merangkum, memahami dan mempresentasikan suatu sejarah/teori/pemikiran/gagasan/prinsip tertentu dalam arsitektur. Mahasiswa biasanya diberi kebebasan mengambil sumber darimana saja, bahkan dari blog atau portal berita yang kemungkinan ditulisnya bukan oleh arsitek atau orang yang mempelajari arsitektur.
         Waktu S1, kadang saya belum bisa membedakan mana yang teori mana yang opini. Misalnya, kita ambil objek wisata Farm House di Lembang, yang menerapkan tema arsitektur Eropa pada desain bangunan dalam kawasannya. Kalau kita membaca blog atau portal berita sebagai sumber, narasi di dalamnya bisa memframing bahwa perancangan seperti itu bagus untuk arsitektur wisata, dengan banyak tampilan bangunan yang menarik untuk spot selfie, dan indikator keberhasilannya ditunjukkan dengan tingginya angka wisatawan yang datang. Jika mengejar waktu dan kepraktisan, kita akan menjadikan sumber seperti ini sebagai rujukan, dan bisa menjadi pemahaman yang keliru, karena sumber yang kita ambil hanya melihat berdasarkan ‘keunikan tampilan bangunan tema Eropa’ dan jumlah wisatawan yang datang, tidak mempertimbangkan unsur lain, misalnya seperti ‘Kitsch’ (menjadi pertanyaan kenapa tema arsitektur Eropa mewarnai objek bangunan – secara ‘plek ketiplek’ - yang berdiri di tanah Sunda, beribu-ribu kilometer jauhnya). Tapi karena narasi ‘keunikan bangunan’ seperti ini yang sering diberitakan, ditambah dengan antusiasme orang-orang di sosial media misalnya, maka kita bisa saja menyimpulkan bahwa hal seperti itulah yang benar, yang lumrah, dan menjadikan sumber dari blog atau portal berita itu sebagai rujukan karena lumrah tadi. Dan itu dipresentasikan di depan teman-teman kita (kolektif). Namun apakah bahan yang kita sajikan di hadapan teman-teman itu, sudah tepat secara teoritis?
          Dulu saya kira hal tersebut wajar, karena narasi yang saya baca di internet kebanyakan mem-framing Farm House seperti itu. Setelah merangkum dan memahami (dari sumber yang kurang tepat) itu, kemudian dipresentasikan sebagai studi banding. Diskusi terjadi, hingga menghasilkan suatu keputusan desain. Keputusan desain ini, tepat atau tidaknya juga akan dipengaruhi oleh tepat atau tidaknya isi dari sumber yang kita dapatkan. Kalau isi sumbernya kritis terhadap isu dan permasalahan, maka keputusan desain kita juga akan kritis terhadap isu dan permasalahan yang kita hadapi dalam perancangan, karena otomatis kita akan mencerap dan menerapkan apa yang kita pahami dari sumber, begitu juga sebaliknya. Akan sangat baik jika kita mengambil teori dari sumber yang kritis dan komprehensif, tidak sekedar mengikuti hal yang lumrah atau yang sedang trend di masyarakat. Dan untuk memahami itu, menurut saya penugasan untuk membaca dan memahami satu saja bahasan teori arsitektur dari sumber yang benar bisa menjadi langkah awal yang paling sederhana dan mudah. Dengan merujuk pada sumber yang tepat, bahan sajian dan presentasi kita juga akan lebih ‘berisi’ dibanding jika kita mengambil sumber dari blog atau situs online. Diskusi dan keputusan desain yang dihasilkan juga diharapkan lebih kritis dan tidak hanya mengikuti hal yang lumrah. 

Memahami Teori dari Literatur, kaitannya dengan Dialektika di Kelas Studio

        Dengan memahami teori dari literatur dengan benar, acuan kita juga lebih kuat, ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Langkah kita dalam merancang juga tepat, atau setidaknya dioptimasi/meminimalisir ketidaktepatan. Dalam kelas studio perancangan, proses pin-up adalah hal yang menarik, karena kita menyampaikan konsep, ide dan gagasan kita dan dapat dikomentari teman kita. Memahami teori dari literatur akan berkaitan dengan proses memutuskan rancangan, baik berhubungan langsung atau tidak, karena kita pasti akan mengacu pada suatu teori tertentu.
       Misalnya, kita ingin merancang sekolah modern, maka pasti akan mengacu pada teori arsitektur modern atau sekolah modern. Kita perlu mencari teori dari rujukan literatur yang tepat, sehingga arsitektur modern atau sekolah modern dapat dipahami dengan lebih luas, tidak hanya menerapkan prinisp ‘pilotis’ atau tanpa ornamen. Tentunya kita pasti membaca juga, tapi maksudnya bukan hanya membaca standar (mis. standar luas ruang, standar penghawaan, standar pencahayaan dsb). Jika ada kritik, diskusi atau perdebatan, maka kita bisa menjawabnya secara ilmiah juga karena sumber dan rujukan yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan.
        Dialektika di kelas studio, dalam skala mikro juga berlaku untuk diskusi. Ada teman-teman kita yang menyukai model rancangan ultra-modern, dengan simulasi menggunakan software seperti grasshopper untuk menghasilkan bentuk massa bangunan seperti gaya Zaha Hadid; ada juga sebagian lain yang lebih menyukai sesuatu yang kontekstual, terkait lokalitas atau budaya suatu daerah. Sebagian berpendapat bahwa karya arsitektur harus berkembang mengikuti teknologi dan berprinsip bahwa kemajuan ditunjukkan dengan seberapa maju teknologi yang digunakan pada bangunan. Sedangkan sebagian lagi berprinsip bahwa bangunan tidak bisa dilepaskan dari konteks lingkungan dimana dia berdiri, sehingga unsur budaya atau lokalitas harus terlihat dalam bangunan, tidak bisa dengan mudah mengikuti universal style.
    Diskusi dan pertukaran pengetahuan dalam kelas, serta presentasi di depan dengan pertanyaan dan dialog yang terjadi, disitulah terjadinya dialektika, akan ada narasi-narasi yang ditujukan pada kita, yang membentuk karakter perancangan kita pada akhirnya, yang secara sederhana dapat terlihat dalam tugas-tugas studio atau tugas akhir. Ini adalah bentuk sederhana dialektika dan evolusi yang saya kemukakan di awal pembahasan. Jika di luar kelas evolusi itu mungkin tidak terlalu terlihat bentuknya, tapi kalau dalam kelas studio mungkin agak terlihat proses sampai bentuknya.
        Kita hari ini mungkin tergantung dari teori, literatur atau buku yang kita baca; dan simpulan yang kita simpulkan sendiri dari hasil diskusi, kritik dan masukan dari teman-teman kita. Karena hal itu akan membentuk kita dalam berproses, maka penting untuk memahami, dan pemahaman yang baik berasal dari sumber yang baik juga: buku rujukan, tidak hanya blog atau portal berita. Secara mudah dan sederhana, kita bisa temukan dan cerap inti-intinya untuk kemudian kita kontemplasikan.

Memahami Teori di Bangku Kuliah, dan Manfaatnya di Masa Sekarang

    Setelah lulus kuliah, mungkin kita akan langsung dihadapkan dengan kesibukan pekerjaan, sehingga tidak akan sering bersinggungan langsung dengan bahasan teori-teori arsitektur seperti di bangku kuliah. Tapi tentunya, di dunia kerja ataupun di lingkungan masyarakat yang kita hadapi juga akan selalu terjadi dialektika. Memahami teori dengan benar akan membuat kita – minimal - tidak terbawa pengaruh ‘noise’, teori kita bisa berpedoman pada sumber yang tepat. Misalnya, dalam menanggapi penggunaan bentuk segitiga pada bangunan masjid, yang sempat dikritik tidak tepat karena segitiga identik dengan organisasi Freemanson atau Iluminati. Dengan memahami teori dengan benar, kita akan paham bahwa segitiga itu hanyalah bentuk dasar (platonic solid), sudah digunakan sejak zaman arsitektur pra-modern, dan tidak mewakili simbol identitas tertentu. Minimal kita akan memiliki teori sebagai rujukan dan perbandingan, dan juga tidak mudah mengikuti pandangan (yang keliru) yang disuarakan. Bahkan, dengan memahami teori dengan benar, kita juga bisa meluruskan stigma-stigma yang keliru di masyarakat tentang arsitektur, baik secara individu maupun secara kolektif. Oleh karena itu, penting untuk memahami teori dengan benar atau tepat, karena akan selalu bermanfaat dalam menghadapi suatu isu atau permasalahan.

Simpulan

       Kritik atau masukan tidak dapat dihindari dalam proses mendesain. Karena desain adalah hubungan antara ‘desainer’ dan penggunanya, terdapat dua subjek utama dalam suatu perancangan. Terlebih jika objek perancangan itu adalah objek publik yang bisa diakses beragam orang dan golongan dan berbagai latar belakang pendidikan, karakter, dan agama, yang tentunya memiliki sudut pandang masing-masing dalam merespon suatu objek desain.
      Secara mikro, kritik dan masukan sudah dimulai sejak di bangku kuliah melalui proses asistensi dan bimbingan. Selain bersama dosen, kita juga dilatih menanggapi hasil karya teman kita masing-masing. Misalnya dalam suatu tugas perancangan, satu objek bangunan yang dirancang akan berbeda antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya. Akan banyak digunakan beragam tema atau pendekatan, tetapi pasti ada kesamaan teori atau prinsip yang digunakan, yang membedakan hanyalah tema, pendekatan atau gubahan massa-nya, yang beragam dan biasanya diwarnai oleh karakter dan idealism masing-masing mahasiswa. Namun pada dasarnya prinsip atau teori yang digunakan sama.
        Dari lingkup bangku kuliah, kita bisa menarik ke dalam skala makro mengenai kritik dan perdebatan dalam arsitektur. Sebagai manusia, khususnya sebagai pengamat, tentunya kita memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menanggapi suatu karya arsitektur. Dalam mengungkapkan pandangan, tulisan dapat menjadi suatu wadah yang tepat untuk mengungkapkan gagasan, pandangan, pemahaman maupun ketidaksetujuan kita terhadap suatu karya arsitektur. Agar pemikiran kita tepat dan tersampaikan, kita harus banyak membaca dulu tentang teori-teori dalam arsitektur, agar argumen kita didukung dengan data yang faktual dan bukan dari subjektivitas kita sendiri. Dengan banyak membaca dan memahami teori arsitektur, pemahaman kita tentang arsitektur itu sendiri akan semakin luas, sehingga kedudukan teori arsitektur menjadi sangat penting, khususnya bagi kita yang berkecimpung di bidang arsitektur, baik sebagai praktisi maupun akademisi. Memahami teori dengan benar akan menghasilkan pemahaman yang komprehesif, sehingga tanggapan kita tentang karya arsitektur dapat tertuang melalui tulisan dengan benar: deskriptif, analisis/kritik, dan persuasi sehingga dapat diterima dan dipahami oleh pembaca dengan komprehensif.

Komentar

Total Tayangan Halaman