Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (Book Review)

 

Penghancuran Buku masuk radarku waktu random cek buku-buku baru di toko oren. Judul dan sinopsisnya menarik: kenapa buku dihancurkan, dan kenapa orang menghancurkan buku? Untungnya buku ini ada di koleksi Imakata Cimahi, jadi aku bisa pinjam dan baca. Ini beberapa poin yang kucatat setelah baca Penghancuran Buku.

Resume

Kenapa Buku Dihancurkan?

Kesan setelah baca pendahuluan: penghancuran buku itu menyedihkan. Menghancurkan buku bukan berarti hanya menghancurkan fisiknya, tapi juga isinya. Menghancurkan buku berarti menghancurkan ingatan, pengetahuan dan identitas. 

Pengetahuan sekelompok manusia diwariskan melalui lisan atau tulisan. Kalau melalui lisan, ketika manusianya nggak ada, otomatis pengetahuan dan ingatannya ikut nggak ada. Maka pengetahuan dan ingatan perlu dituliskan di suatu media untuk diingat dan diwariskan ke generasi selanjutnya. Pengetahuan tertulis turun temurun itu melahirkan peradaban, budaya bahkan teknologi. Pengetahuan sekelompok manusia ini bisa kita sebut pengetahuan bangsa atau negara. Kalau udah bicara negara maka bicara politik, ada masanya penguasa ingin memperluas kekuasaan dengan menaklukan negara-negara lain, baik secara paksa atau sukarela. Ditengah penaklukan itu hampir selalu ditemui proses penghancuran buku dan perpustakaan. 

Buku sebagai media tulis pengetahuan dan ingatan sekelompok manusia, dihancurkan agar pengetahuan dan ingatan kelompok itu hilang tanpa sisa. Jika tidak ada jejaknya sama sekali, pengetahuan dan ingatan kelompok terputus, tidak akan sampai pada generasi selanjutnya. Tidak akan ada yang kenal dan ingat. Tanpa pengetahuan dan ingatan tertulis, ideologi kelompok sangat rentan digantikan oleh ideologi kelompok lain, seringkali oleh ideologi pihak yang menginvasi. Pencangkokkan ideologi baru oleh pihak yang lebih kuat dan berkuasa. 

Proses penghancuran buku juga dikaitkan dengan mitos apokaliptis (apocalypse), terkait awal dan berakhirnya suatu tatanan dunia. Untuk membentuk tatanan baru, kadang dilakukan tindakan radikal berupa pemusnahan (perang dan invasi). 


Kaitannya dengan buku = jika menuliskan pengetahuan (lewat buku) dan terbentuknya peradaban adalah awalnya, maka penghancuran pengetahuan (buku) adalah akhirnya. Pengetahuan lama dipaksa hilang untuk bisa membentuk tatanan baru. Mitos apokaliptis ini sudah dikenal dari zaman kuno dan polanya masih bisa ditemui sampai hari ini. Nah, buku ini menggambarkan proses apokaliptis yang dimaksud – yaitu penghancuran buku - secara berurutan dari zaman kuno (sebelum masehi) sampai abad 20 ini. Kita akan dibawa menelusuri penghancuran buku lintas masa lewat 32 bab buku ini, mulai dari zaman kuno sampai era digital. 

Perkembangan Buku sebagai Media Catat

Buku yang kita kenal sekarang adalah hasil evolusi media catat selama ribuan tahun. Di dunia kuno, yang dimaksud buku adalah media tulis dari tanah liat (clay tablet), papirus, kulit kayu atau hewan, dan bambu. Sebelum mesin cetak ditemukan, buku diperbanyak dengan cara ditulis ulang oleh juru salin. Di zaman kuno pengetahuan dianggap sakral. Baca-tulis hanya dilakukan agamawan dan cendekiawan, sehingga juru salin jadi profesi istimewa. Juru salin bekerja untuk kerajaan dan dikasih privilege tertentu dari penguasa/raja. Setelah ditemukan teknik pembuatan kertas dan mesin cetak Guttenberg, barulah buku dicetak massal dan bentuknya berevolusi sampai hari ini. 

Prinsip buku di dunia kuno maupun sekarang masih sama: media tertulis yang mencakup topik tertentu, bahan dan cara menuliskannya saja yang berkembang dari masa ke masa. Dan bahan buku ini nantinya berkaitan dengan cara penghancurannya.

Penghancuran Buku, Perpustakaan dan Pustakawan

Di masa lalu, terbatasnya bahan dan orang membuat buku dianggap harta berharga sehingga tidak bisa sembarang diakses. Koleksi buku identik dengan raja atau penguasa, karena terkait gengsi (semakin banyak koleksi buku = semakin kaya). Buku-buku disimpan dalam ruangan khusus demi keamanan, atau dekat pusat pemerintahan, dijaga oleh kepala perpustakaan/pustakawan. Tempat penyimpanan buku yang terkhusus itu juga membuat perpustakaan jadi sasaran empuk penyerangan dan penghancuran, karena semua pengetahuan tulis terpusat disana. 

Sejarah menunjukkan banyak koleksi perpustakaan yang hilang karena penyerangan saat invasi dan perang, dengan taktik pembakaran. Tanah liat, papirus, kulit kayu apalagi kertas sangat mudah terbakar dan hangus tanpa sisa. Penjarahan juga membuat koleksi perpustakaan tercerai-berai sampai tidak bisa ditelusuri lagi kemana jejaknya, lalu hilang selamanya.  Pola pembakaran dan penjarahan terjadi dari zaman kuno dan masih berulang sampai sekarang. Yang jelas kalau buku hilang atau hancur tanpa ada salinannya sama sekali, pengetahuan manusia di dalamnya juga ikut hilang. 

Secara garis besar, penghancuran buku terjadi karena:
  • Invasi: suatu kelompok ingin menguasai kelompok lainnya. Invasi dalam jumlah besar bisa disebut juga penjajahan oleh suatu bangsa/negara. Perpustakaan sebagai tempat menyimpan pengetahuan bangsa lewat buku, sering jadi sasaran penjarahan, pembakaran atau pemboman sampai tidak bersisa. Ini untuk menghilangkan identitas dan pengetahuan bangsa yang hendak dikuasai
  • Perang: menyebabkan koleksi perpustakaan dijarah, dicuri sehingga koleksi tercerai-berai. Kondisi perang juga sering menyebabkan ketiadaan pengawasan terhadap koleksi karena masyarakat mengungsi, sehingga terjadi pengabaian terhadap buku dan perpustakaan
  • Sentimen agama: buku dimusnahkan karena dianggap menyesatkan, berbahaya, bidah atau mengganggu keimanan sekelompok pengikut agama tertentu
  • Perbedaan pandangan politik/ideologi: ada kalanya buku yang ditulis seseorang dengan pandangan ideologi berbeda dari masyarakat jadi ancaman, sehingga harus dimusnahkan
  • Ketidaksukaan: pelaku penghancuran bisa dari keluarga sendiri karena alasan pribadi, seringnya karena agama atau ketidaksukaan. Bisa juga karena ‘sensor keagamaan dan politik kolekif’. 
  • Bencana alam: gempa bumi membuat perpustakaan runtuh, koleksi tertimbun. Banjir menghanyutkan buku dan merusak kertas. Dan sebagainya, yang disebabkan faktor alam diluar prediksi dan tidak bisa dicegah
  • Kecelakaan: pertukaran naskah antar benua lewat kapal atau pesawat bisa hilang seandainya terjadi kecelakaan (kapal tenggelam, pesawat jatuh). Begitu juga lewat transportasi darat.
Pustakawan juga jadi sasaran. Selalu ada upaya ‘mematikan’ pustakawan atau cendekiawan yang dekat dengan perpustakaan. Pustakawan jadi juru kunci isi perpustakaan, termasuk artefak penting atau dokumen rahasia. Pustakawan hilang = penjaga koleksi hilang. Tapi, pustakawan juga bisa jadi pelaku penghancuran karena menjual/memindahkan koleksi buku, atau menghancurkan dengan cara pengabaian (tidak merawat buku). Ketiadaan minat juga menghancurkan, karena jadi nggak ada yang melestarikan perpustakaan. 

Jujurly pembahasan paling nempel di kepalaku itu penghancuran buku di dunia kuno (karena bacanya masih semangat). Misalnya soal penghancuran perpustakaan Alexandria, yang merupakan perpustakaan terbesar di zaman kuno. Disini tempat belajar sama dengan tempat ibadah, dan kepala perpustakaan harus dari kalangan rohaniawan/pendeta. Koleksi buku dikumpulkan dari hasil meminjam dan memperbanyak salinan papirus negara lain (Romawi, Yunani, dll).

The fire of Alexandria, woodcuts by Hermann Göll, 1876

Perpustakaan Alexandria hilang karena perang perebutan kekuasaan di Mesir. Masih diperdebatkan siapa yang bertanggungjawab sepenuhnya atas kehancuran Perpustakaan Alexandria. Faktor penyebab kehancuran perpustakaan ini juga tidak disebabkan faktor tunggal. Pembakaran armada kapal yang mengangkut 40 ribu buku untuk Perpustakaan Alexandria juga mengakibatkan musnahnya sebagian koleksi. Penelantaran perpustakaan juga terjadi akibat pemangkasan dana karena konflik, yang membuat perpustakaan gak keurus. 

Lain halnya di China, dimana penghancuran buku terjadi karena penguasa ingin menghilangkan tradisi dan pengetahuan generasi sebelumnya akibat ketidaksukaan pribadi. Di buku juga ngebahas penghancuran buku di (dunia kuno) Yunani, Romawi, Irak (Baghdad). Sedikit dibahas juga di Amerika Selatan. 

Habis di dunia kuno dibahas penghancuran buku di abad pertengahan, yang didominasi pelarangan jenis buku-buku yang dianggap bertentangan dengan gereja/pemerintahan. Sering juga ditemui persekusi terhadap suatu karya dan penulisnya. Di abad pertengahan mulai gencar diberlakukan sensor dan keluar katalog buku yang dilarang/dihilangkan. Kalau nggak salah, pembatasan kegiatan intelektual di abad pertengahan jadi salah satu faktor penyebab terjadinya dark age (masa kegelapan), karena pengetahuan tidak berkembang.  

Reading Experience

Baca buku ini feelnya kayak nonton dokumenter National Geographic. Data yang disampaikan banyak, tapi agak boring since dia bener-bener menyajikan data. Kayak baca katalog peristiwa penghancuran (tapi kan memang ini maksud bukunya?) But I find it a little bit exhausting in the middle of the book. Kayak baca kamus. Banyak banget judul, penulis, tahun dan tempat disebutkan. Buku ini memang termasuk buku sejarah, penulisannya memang udah sesuai karena peristiwa yang dimasukkan lengkap dan detail. Penulisannya udah kronologis secara historis, dan peristiwa yang dituliskan itu yang penting-pentingnya dari timeline penghancuran buku di sepanjang masa. 

Aku masih antusias baca di bagian pengantar dan dunia kuno. Banyak narasi-narasi ‘klik’ yang aku suka di pengantar, bahwa buku adalah perpanjangan ingatan dan pengetahuan. Antusias baca mulai macet dari bab penghancuran buku di Israel. Pola penghancuran di bab selanjutnya mirip-mirip, yang beda cuma motif, pelaku, tempat, cara dan dampaknya aja. Jadi sisanya aku cuma berusaha ‘namatin’. Sering banget ngintip ‘bab ini berapa halaman lagi ya sampai tamat?’ 😅 Not really a page-turner for me, I’d say. Aku drop baca di bab 22, dan lanjut baca dari belakang (mundur dari bab 32). 

Reading Aftertaste + Penutup

Penghancuran buku yang dibahas di buku ini kedengerannya emang jauh (secara tempat dan waktu). Tapi kalau dipikir-pikir lagi ada jenis penghancuran buku yang deket sama kehidupan sehari-hari: diakibatkan kecelakaan atau ketidaksukaan

Misalnya: skripsi. Bayangin setelah susah payah nyusun file skripsi tiba-tiba laptop dicuri, file corrupt, drive ke-hackyou name it – sampai filenya beneran hilang beserta data pendukungnya. Gambar, grafik, kuisioner, studi literatur yang disusun susah payah, analisis dan hasil penelitian yang dihasilkan dari mati-matian memeras otak – semuanya hilang. Se-nyesek itulah kalau kehilangan pengetahuan dan ingatan. Mau nggak mau semuanya harus disusun dari awal.

Soal penghancuran buku akibat ketidaksukaan, aku langsung keinget scene dari film Little Women: bagian Amy ngebakar manuskrip novel Jo di perapian. Amy kesel sama Jo karena nggak diajak ke teater, makannya dia pingin balas dendam: gimana caranya supaya Jo sakit hati. Amy tahu Jo sudah mencurahkan waktu dan usaha untuk menulis novel itu (apalagi tulis tangan), tapi karena dendam Amy jadi tega membakar manuskrip yang nggak ada salinannya itu di perapian. Kesel boleh tapi gak sampai ngebakar tulisan orang juga dong Amy 😢 Begitulah penghancuran buku akibat ketidaksukaan pribadi, yang bahkan dilakukan oleh keluarga sendiri. 


*** 
Tujuan buku ini sangat ketangkep: I get it, menghancurkan buku = menghancurkan ingatan, menghancurkan manusia. Dibandingkan dengan penggambaran penghancuran di tiap bab, aku lebih tersentuh dengan penjelasan-penjelasan di bagian pendahuluan. Narasi empatik-nya lebih banyak, sedangkan narasi di tiap bab kayak baca katalog atau kamus. Tapi buku ini memang cocok kalau kita pingin tahu soal riwayat penghancuran buku dengan lengkap dan jelas. Bahkan sumber dan referensi yang dicantumkannya juga banyak. In the end, buku ini dapat bintang 4 dari 5 untuk insight-nya ⭐

Komentar

Postingan Populer