Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan - Ester Lianawati (Book Review)

Circa 2020-2022, aku inget banget buku ini cukup sering dibahas dan direview para bookstagrammer dan book reviewer. Waktu itu kurang tertarik baca, karena judulnya gak ‘klik’ buatku (I don’t feel comfortable with that ‘betina’ words using). Baru tertarik baca di tahun 2025 ini, setelah baca Akhir Penjantanan Dunia yang isinya bagus. So, let’s give it a try

Isi Buku

Buku non-fiksi ini berisi pengantar mengenal psikologi feminis, salah satu bagian resmi American Psychological Association (APA). Dijelaskan bahwa sebelum psikologi berkembang seperti sekarang, psikologi adalah salah satu disiplin ilmu yang andosentris, berdiri dan dikembangkan ilmuwan laki-laki. Teori-teori psikologi dihasilkan dari penelitian bersubjek laki-laki, lalu digeneralisir untuk diterapkan pada laki-laki dan perempuan. Kesempurnaan psikis dan psikologis manusia dilihat dari organ reproduksinya: laki-laki dianggap sempurna karena bisa membuahi, sedangkan perempuan tidak. Tentunya jadi timpang karena teori psikis laki-laki tidak bisa digeneralisir pada psikis perempuan.

Teori-teori male-centered yang diterapkan di dunia medis puluhan tahun itu menyebabkan perempuan selalu dianggap punya kelainan fisik dan mental hanya karena ‘dia perempuan’. Pandangan itu mengakibatkan kesalahan metodologis dalam mendiagnosa, lalu menghasilkan kajian neuroseksis. Misalnya kajian yang menyebutkan laki-laki lebih rasional sedangkan perempuan lebih emosional. Atau laki-laki cenderung ingin melindungi, dan perempuan cenderung ingin mengasuh atau merawat. Ini sebetulnya kurang tepat karena kecenderungan rasional, emosional, melindungi dan merawat itu selalu ada pada perempuan dan laki-laki, tidak terbatas pada satu gender. 

Buku ini membahas teori-teori psikologi yang dipengaruhi nilai patriarkal pada masanya. Contoh:

  • Sigmund Freud memandang perempuan sebagai makhluk neurotik, histeris, temperamental, rendah diri, dll. Teorinya didasarkan pada pengalaman menghadapi klien-klien perempuan yang dibesarkan dalam budaya patriarkal pada awal abad ke-19, yang menganggap tempat ideal perempuan adalah rumah dan perempuan ideal adalah seorang istri dan ibu.
  • Erik Erikson menganggap tahap perkembangan identitas perempuan belum sempurna jika ia belum mengembangkan keintiman yang hanya bisa dicapai bila perempuan menjalin hubungan dengan lawan jenis, menjadi seorang istri, dan selanjutnya menjadi ibu. Menurut Erikson identitas perempuan bergantung pada keberhasilannya menjadi seorang istri dan ibu, sedangkan pencapaian identitas laki-laki tidak ditentukan oleh apapun, termasuk keintiman.
  • Ada masanya perempuan disarankan tidak belajar karena akan ‘mengganggu mentalnya’, dan menstruasi dianggap penyakit
  • Jika perempuan dibawa ke psikolog oleh ayah/suaminya karena suatu permasalahan, maka masalah itu dianggap disebabkan oleh si perempuan. Kesalahan ada di pihak perempuan, makannya dia ‘harus diperbaiki dan disembuhkan’, tidak peduli bagaimana duduk perkara permasalahannya. Perempuan ‘diobati’ agar bisa kembali ‘menjalankan tugasnya’ untuk laki-laki, bukan untuk kesembuhannya sendiri. 
  • Terapi gangguan psikologis pada perempuan seringnya berbentuk istirahat dan bukan kegiatan fisik aktif, padahal justru kegiatan fisik bisa membantu pemulihan. Sedangkan terapi untuk laki-laki biasanya kegiatan aktif seperti olahraga

Di masa itu ada juga psikolog perempuan, tapi jumlahnya sedikit dan kurang dianggap serius.  Misalnya, Sabine Spielrein yang mencetuskan kekuatan empati perempuan. Menurut Sabine, empati adalah kekuatan psike perempuan, bersifat aktif karena empati membuat perempuan bergerak menjalin hubungan dengan orang lain. Teori Sabine melawan teori (yang dicetuskan psikolog laki-laki) yang menganggap kekuatan psike perempuan yaitu pasif, masokis, dan hanya ditentukan faktor biologis.

Buku ini terbagi dari 3 bagian besar. Bagian pertama membahas soal psikologi feminis secara keseluruhan, sedangkan bagian 2 dan 3 lebih ke bahasan penerapannya dalam isu-isu perempuan masa kini. Adapun serigala betina yang dimaksud di judul dibahas di bagian 2. Serigala betina dikenal sebagai binatang penyayang, pelindung, dan setia tanpa bergantung pada pasangannya. Serigala betina mampu memimpin diri sendiri dan kelompoknya tanpa rasa takut ataupun kompleks. 

Serigala betina adalah arketipe dari perempuan liar: memiliki indera dan insting tajam, peduli sesama, berani, mampu beradaptasi. Liar disini bukan berarti negatif, tapi bersatu dengan alam, tulus, autentik, tegas, berani, dan otonom. Dalam setiap diri perempuan ada kekuatan yang dipenuhi insting, kreativitas, semangat, dan kebijaksanaan. Perempuan harus mampu mengambil keputusan, agar bebas dan bisa membebaskan. 

Review+ Reading Experience

Sebagai orang awam, pengetahuanku tentang psikologi didapat dari buku dan internet, sekedar tahu Carl Jung dan Sigmund Freud itu tokoh psikologi. Bu Ester, penulis buku ini background-nya dari psikologi, jadi menguasai isu atau sejarah psikologi diluar yang diketahui masyarakat umum. It’s a solid book – daftar pustakanya panjang. Lewat buku ini jadi tahu ada yang namanya psikologi feminis. Banyak insight baru yang didapet, terutama dari bagian pertama, tentang Psikologi Feminis: Apa dan Bagaimana. 

Bagaimana cara kita – perempuan – dalam memandang diri sendiri, semuanya memang balik lagi ke dasar: fisik dan mental. Psike. Penting untuk aware soal psikologi feminis, karena sebelumnya psike perempuan sering disalahpahami. 

Buku ini memperdebatkan isu-isu psikologis gender, ‘apa’ dan ‘kata siapa’. Bahwa ada bias dan kesalahan metodologi. Bahwa ada teori psikologis yang dicetuskan psikolog pria, yang tidak representatif terhadap perempuan karena sampel penelitiannya pria, tapi terlanjur dipercaya karena ilmunya diturunkan seperti itu. Menghasilkan kajian neruoseksis. Kayak anggapan naluri pengasuhan itu muncul sendirinya pada perempuan, padahal naluri pengasuhan itu sesuatu yang gak otomatis muncul, baik pada perempuan maupun laki-laki. Naluri pengasuhan adalah sesuatu yang diperoleh, dengan cara dipelajari. 

Turunan dari kajian neuroseksis bisa juga dilihat di internet, berupa artikel ‘bernuansa psikologi’. Di era banjir informasi gini, mesti hati-hati sama tulisan macam itu: siapa penulisnya, dia pakai teori siapa dalam berargumen? Apakah sumbernya dari kajian bernuansa neuroseksis? Buku ini ‘ngebuka mata’ soal isu itu, at least ketika baca kita jangan telan mentah-mentah, mesti cek dan ricek lagi. 

Selesai baca buku ini, langsung mikir: bersyukur banget hidup di zaman sekarang, dimana ilmu psikologi udah jauh berkembang dan sensitif gender. Kalau nggak, kita dipaksa menerima ilmu pengetahuan yang male-centered dan absurd. Banyak pembahasan (terutama bagian satu) yang mungkin dulu memang gitu, tapi tetep jaw-dropping 😖 Kayak… masa belajar aja bisa mengganggu mental? Sigmund Freud said that women have something called penis envy - what do you mean women want to have penis like the one men have? Because, no thanks 😂 

Ada paragraf yang aku suka dari buku ini: jika teori Erikson diterapkan sebagai norma bagi perempuan, akan banyak perempuan yang menderita ketika kebahagiaannya hanya ditentukan oleh status perkawinan dan keberhasilannya melahirkan anak-anak dari rahimnya. Ironis sekali, mengingat psikologi bertujuan untuk membawa kesejahteraan bagi manusia. What should we highlight is: teori Erikson dikeluarin puluhan tahun lalu, dimana segala aspek kehidupan dulu dan sekarang itu udah jauh berbeda. Tapi di sebagian besar masyarakat kita, masih ada yang mengagungkan nilai itu. Always ask: does this still relevant for us, the women who live in this day?

Dari reading experience-nya, aku ngerasa bagian satu menarik dan ‘renyah’, tapi agak ‘liat’ waktu baca bagian-bagian selanjutnya. Entah kenapa gak se-renyah waktu baca Akhir Penjantanan Dunia. Mungkin karena tema-tema selanjutnya pernah aku baca di bacaan lain, jadi gak terlalu nempel di kepala. Kalau aku baca buku ini 2-3 tahun lalu, mungkin bakal nempel. Setelah bagian 1, aku lanjut baca bukan karena ter-provoke emotion-nya, tapi karena takut nggak dapat penjelasan yang lengkap kalau skip baca. But it's still worth reading, dengan rating 4.5/5 

PS: About ‘serigala betina’ part, I don’t think I'm really get it - so I don’t have anything to say about it 🐺

Komentar

Postingan Populer