Akhir Penjantanan Dunia - Ester Lianawati (Book Review)
Pernah nggak, denger suara nggak kelihatan, yang nyuruh kita memenuhi suatu ekspektasi hanya karena kita perempuan? Sejak kecil sampai dewasa, suara itu merongrong perempuan buat tunduk pada standar ‘perempuan baik-baik’. Anak perempuan nggak boleh pecicilan. Remaja perempuan didekatkan pada pekerjaan domestik di rumah. Tuntutan menikah, berkeluarga dan pengasuhan jadi familiar di kehidupan wanita dewasa. Pada tingkat usia berapapun, suara itu akan menekan kalau kita nggak memenuhi tuntutannya. Bisa secara frontal lewat omongan, berbentuk pertanyaan: kapan menikah, kapan punya anak, kapan nambah anak. Bisa juga berupa bisikan yang muncul waktu melihat perempuan lain yang sesuai standar, yang membuat kita bertanya-tanya kenapa nggak bisa memenuhi standar itu juga.
Mau apapun bentuknya, suara itu bikin kita inferior dan meragukan diri sendiri, hanya karena kita perempuan. Suara itu punya nama: sistem penjantanan.
Isi Buku
Penjantanan dunia adalah suatu sistem dimana laki-laki adalah standar keunggulan dan kesempurnaan. Dalam sistem ini berbagai aspek kehidupan menjadi male-dominated: laki-laki adalah norma yang menjadi standar, sedangkan perempuan menjadi objek, sekedar pelengkap laki-laki, manusia kelas dua.
![]() |
| Daftar Isi |
Penjantanan dunia adalah suatu konstruksi yang terbentuk selama berabad-abad. Mengutip halaman 12, dikatakan pernah ada suatu periode yang sangat panjang ketika perempuan punya hak dan kekuasaan yang sama dengan laki-laki, setara. Sejarah menunjukkan bagaimana kesetaraan itu bergeser, dimana nilai-nilai virile atau kejantanan menjadi diutamakan, dan nilai-nilai feminim terpinggirkan. Enam poros sistem kejantanan menurut Gazale yang di-mention dalam buku ini yaitu:
- Penyitaan kekerabatan: kompleks paternitas
- Pemilikan perempuan: pembatasan suara dan gerak perempuan melalui perkawinan
- Diabolisasi seks feminim: perempuan digambarkan mengerikan dan berbahaya
- Pembenaran kekerasan dengan menyalahkan perempuan: pembenaran kekerasan karena perempuan dianggap ‘sudah salah dari sananya’
- Pengesahan eksklusi oleh inferioritas perempuan: perempuan tidak boleh masuk wilayah publik
- Pembagian wilayah dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin: dimana perempuan hanya boleh bekerja di sektor-sektor tertentu
Enam poros sistem kejantanan ini terkonstruksi selama berabad-abad, tertanam turun temurun di masyarakat, sehingga jadi pilar yang dianggap benar untuk dijalankan dalam berbagai aspek: agama, politik, pendidikan, dll. Sistem kejantanan akhirnya menyatu sedemikan rupa dalam kehidupan sehari-hari perempuan tanpa disadari, tanpa kita sempat bertanya atau mempertanyakan. Sistem kejantanan sudah berjalan lama sekali makannya kita menganggap itulah yang normal dan benar karena ‘sudah dari sananya’.
![]() |
| Halaman 15 |
Apa yang dianggap ‘sudah dari sananya’ itu bukan berarti benar, karena selain merugikan perempuan, sistem kejantanan ini juga merugikan laki-laki. Selama sistem ini masih ada, penindasan juga masih akan terus berlanjut pada perempuan dan laki-laki. Namun sebagaimana sistem bentukan manusia, penjantanan dunia juga tidak bersifat mutlak dan absolut, dia masih bisa di dekonstruksi. Dan itulah solusi yang diangkat dalam buku ini, bagaimana kita bisa mengakhiri dominasi nilai-nilai penjantaan dunia.
Beberapa pembahasan yang menonjol adalah soal tritinas perawan-ibu-pelacur, yang mengkategorikan perempuan berdasarkan sifat ‘kesucian’-nya. Dalam sistem kejantanan, perempuan baik-baik haruslah perawan: naif, murni, suci, segala sifat-sifat baik melekat padanya. Nantinya perawan akan menjadi ibu yang memberi keturunan dan bertanggungjawab atas pengasuhan. Peran ibu diidentikkan dengan ‘berkorban’, dari sanalah pengglorifikasian peran ibu dimulai. Perempuan yang tidak termasuk perawan dan ibu, masuk kategori pelacur: identik dengan seksualisasi, terhina, namun dibutuhkan.
Trinitas perawan-ibu-pelacur ini yang sering membuat sesama perempuan berbenturan, bersaing agar ‘dipilih’ oleh laki-laki. Sistem kejantanan membuat laki-laki yang menjadi standar, sehingga perempuan harus mengikuti standar tersebut agar dipilih atau diterima tidak hanya dalam hubungan pernikahan, tapi juga pekerjaan, sosial, dan aspek kehidupan lainnya.
Untuk mengakhiri sistem penjantanan dan menuju pembebasan, trinitas perawan-ibu-pelacur ini harus disudahi. Perempuan adalah Subjek dan bukan Objek, memiliki tubuh untuk dirinya dan bukan untuk patriarki dalam esensi perawan-ibu-pelacur. Perempuan perlu melakukan pemaknaan ulang terhadap diri dan terhadap tuntutan masyarakat sebagai Subjek.
Dalam pembebasan dari sistem penjantanan, perempuan juga harus mengenal konsep cinta yang otentik. Perempuan harus berhati-hati terhadap jebakan cinta, karena cinta bukan ruang perbudakan dimana perempuan menjadi sosok yang ‘patuh’ seorang. Dalam hubungan setara, perempuan dan pasangannya harus sama-sama menjadi Subjek. Subjek yang mencintai Subjek, bukan Objek yang mencintai Subjek atau sebaliknya. Seringkali perempuan merasa sudah jadi Subjek, tapi sebenernya dia masih jadi Objek karena batas kesadaran itu sangat tipis, akibat sedemikian lama sistem penjantanan dunia itu ada di masyarakat.
![]() |
| Halaman 240 |
Buku ini menguraikan sistem penjantanan dan cara mengakhirinya dengan pembahasan yang solid. Terdiri dari 4 bab, pembahasan buku dimulai dengan sejarah kenapa penjantanan dunia muncul, sampai ke bagaimana seharusnya kita menghentikan sistem penindasan itu. Pembebasan adalah tujuan utamanya. Tiap babnya padat berisi, sumber literatur dan studi kasus banyak disertakan dan dibahas disana-sini. Sumber referensi, ideologi dan tokoh yang disebut banyak berasal dari Prancis.
Review + Reading Experience
Akhir Penjantanan Dunia adalah buku Ester Lianawati yang pertama kali kubaca. Aku belum baca buku bu Ester sebelumnya, tapi tahu beliau menulis tentang feminisme.
Pertama, untuk penulisannya dulu. Buku ini sangat padat dengan berbagai pembahasan isu, kasus, dan ide. Nggak ada filler gak penting. Nggak ada grafik atau ilustrasi juga, beneran full text, tapi aku bisa ngikutin bacanya sampai akhir tanpa slump (buatku ini kemajuan, karena belakangan ini ‘alergi’ buku non-fiksi). Apa yang mau disampaikan jelas, pembahasannya mengalir dan solid. Salah satu yang bikin kecantol untuk lanjut baca, menurutku karena bahasan yang ditulis ini bisa provoke emotion pembaca.
Jadi inget waktu ikut Kelas Menulis Kalis Mardiasih, emosi dalam tulisan harus dipersiapkan agar tulisan kita relate, ágar pesan dan pengalaman kita juga dirasakan pembaca. Hampir semua yang ditulis bu Ester dalam buku ini relate, semuanya pengalaman perempuan yang bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Makannya pas baca itu kerasa ‘klik’nya dan pengen lanjut baca terus. Pas baca halaman demi halaman, terus nyambungin sama kejadian di kehidupan sehari-hari itu kayak… ah, pantes aja bisa begitu. Sistem penjantanan yang membuat perempuan seperti itu.
Kedua, untuk isi bukunya. It’s a clear and solid book. Banyak pembahasan yang bikin emosi (in a good way). Pas baca jadi mikir ‘Iya ya, kenapa bisa begitu? Kenapa harus nurut kalau begitu?’ Sistem penjantanan dunia itu nggak keliatan, tapi jahatnya nyata. Seolah ada suara yang meminta perempuan untuk terus ‘nurut aja, jangan banyak tanya, ikutilah standar kalau nggak mau beda sendiri dan dianggap perempuan gak normal’.
Tapi perempuan normal itu memangnya seperti apa, dan siapa yang menetapkan standarnya? Sistem penjantanan-lah yang menentukan standar itu. Dalam sistem penjantanan, perempuan hanyalah ‘Objek, sesuatu untuk ditaklukkan’. Sistem ini tidak melihat perempuan sebagai Subjek yang punya kehendak sendiri, melainkan barang atau objek yang harus dikuasai. Sebagaimana barang yang harus memenuhi kualitas tertentu, dibuatlah juga standar ‘perempuan normal’ berbentuk trinitas perawan-ibu-pelacur yang harus dipatuhi perempuan. Standar yang akhirnya mengatur perempuan dalam setiap lapis kehidupannya, membatasi kehendaknya. And it’s cruel, really.
Pelaku sistem penjantanan bukan laki-laki aja, tapi perempuan juga bisa ikut melanggengkan sistem ini. Untuk mengakhiri sistem penjantanan memang nggak mudah, perlu dijalankan bersama-sama dan tentu banyak juga yang menolak karena dianggap ‘bertentangan kodrat’. Membahas sistem ini memang tidak bisa dipisahkan dari agama dan politik, and it’s a sensitive topic.
Riset buku ini solid, literaturnya banyak bersumber dari karya tulis penulis Prancis. Dapat insight baru soal trinitas perawan-ibu-pelacur, dan suka banget dengan pembahasan ‘cinta yang otentik’. Buatku masih ada beberapa bagian yang nggak bisa ditelan mentah-mentah, dan penasaran gimana pandangannya menurut Islam (pr buat nyari). Di bagian sejarah penjantanan dunia, entah kenapa aku juga gak ‘klik’ dengan pembahasan dewa-dewi Yunani yang dijadikan contoh (…because why? Is it even historically accurate? Scientifically accurate?) Tapi ya udah sih, minor aja kok.
Aku baca buku ini tanpa ekspektasi, tapi ada juga bagian buku ini yang bikin nangis (surprisingly 😌). Ada beberapa kalimat menyentuh, something we actually want to hear that really bad. That we can choose to become anything, anyone, without any boundaries just because we are women.
Pembahasan buku ini melengkapi proses connecting dot, memberikan nama bagi batas gak kelihatan yang menghalangi perempuan selama ini. It’s not triggering, tapi jadi ingat lagi saat dimana kita harus patuh akan sesuatu, tapi dalam hati muncul perasaan gak nyaman, dan takut mempertanyakannya. Di akhir, entah kenapa ngerasa lega aja karena jadi tahu nama suara yang selalu menuntut perempuan itu. So this inferiority comes from a cruel system called sistem penjantanan, and not us. It’s not our fault.
Akhir Penjantanan Dunia dapat rating 4.8 dari 5. Menurutku ini buku yang mesti dibaca pelan-pelan aja, mungkin nggak semua langsung ‘klik’ sama isinya. Kalau aku baca buku ini sebelum nikah, mungkin aku juga gak akan terlalu klik sama bukunya karena belum ngalamin sendiri isu-isu yang dimaksud dalam buku. But it’s still worth reading, isinya bagus, nambah insight baru untuk bacaan non-fiksi bertema feminis. Buku ini harus dibaca keseluruhan biar ketangkep maksudnya, apa yang dirangkum di blog ini ibarat cuma seiris tipis daging dibanding potongan daging sebenernya 👌
An Aftertaste
Secara sederhana banget, trinitas perawan-ibu-pelacur bisa dilihat dari kasus (yang kebetulan trending pas baca buku ini) : perselingkuhan selebgram Jule. Yang disoroti bukan perselingkuhannya karena jelas salah, tapi bagaimana image Jule ini dengan cepat tergelincir dari kelompok ‘perawan-ibu’ ke kelompok ‘pelacur’. Image asalnya adalah ibu muda solehah, berhijab, punya 3 anak dan jadi panutan, pasti jauh dari hal tabu macam perselingkuhan. Begitu ketahuan melakukan sesuatu yang gak termasuk kategori ‘perawan-ibu’, dengan cepatnya dia tergelincir ke kelompok ‘pelacur’ yang boleh dihina atau dijelek-jelekkan.
Pas berita ini trending, banyak banget konten komedi yang memparodikan Jule ini mulai di Instagram, Twitter dan Threads. Views-nya ratusan ribu sampai jutaan. Secara materi sebenernya lucu, ikut ketawa juga ngeliat konten dan komentar absurd netizen di akun-akun parodi itu.
I never know or follow Jule, I just know her from gossip, watch and laugh on some comedy content about her. But then a question pops in my head: apakah kita yang ikut ketawa ini, jangan-jangan secara tidak langsung melanggengkan trinitas perawan-ibu-pelacur berkedok komedi? I can’t answer that.
Apa munculnya konten parodi itu reaksi yang normal? Apa karena dia seorang perempuan publik figur, yang nggak memenuhi ekspektasi dan berkasus membuatnya boleh dijadikan parodi dan ditertawakan? Tergelincirnya image Jule kayak ngeliatin kalau sistem penjantanan itu sedemikian tertanamnya di masyarakat. Kita masih memakai kacamata trinitas itu dalam memandang perempuan, terutama publik figur. Well, it's just my two cents ✍






Komentar
Posting Komentar